Kasad Resmikan Penggunaan Area Latihan TNI di Simalungun

on Friday, May 31, 2013

30 Mei 2013

Simalungun Military Training Area (Simtra) seluas 8.140 hektar, berlokasi di Kecamatan Silou Kahean Kabupaten Simalungun merupakan medan latihan TNI AD terluas kedua setelah Baturaja yang dapat dipakai untuk menggelar latihan kemiliteran bersama dengan negara lain seperti Singapura dan Malaysia. (photo : TNI)

Simalungun, (Antarasumut)- Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) TNI Letnan Jenderal Moeldoko meresmikan penggunaan area latihan prajurit di Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara (Simalungun Military Training Area/Simtra) Kodam I BB, Kamis siang.

Peresmian di Dusun Bohoan Nagori Dolok Marawa Kecamatan Silou Kahean ini ditandai dengan penandatanganan prasasti yang disaksikan Bupati Simalungun JR Saragih, Ketua DPRD Simalungun diwakili Ketua Komisi III Johalim Purba, Kapolres Simalungun AKBP Andi S Taufik SIK, tokoh adat dan ratusan masyarakat.

Kasad mengatakan Simtra merupakan salahsatu upaya Angkatan Darat dalam menyiapkan medan latihan, sarana dan prasarana untuk mendukung kemampuan militer para prajurit.

Tanpa latihan yang terstruktur, tidak mungkin tercipta prajurit yang terlatih untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan NKRI,” ujar Kasad yang mengatakan pihaknya juga akan menggelar latihan kemiliteran bersama dengan negara lain seperti Singapura dan Malaysia.

Untuk itu Kasad menyampaikan apresiasi kepada Bupati dan Pemkab yang telah menyediakan lahan hutan seluas 8.140 hektare sebagai tempat latihan prajurit, dan mengucurkan dana sebesar Rp9,6 miliar untuk karya bakti TNI untuk membuka dan melebarkan akses jalan di Kecamatan Silou Kahean dan Dolok Silou.

“Kepedulian Bupati untuk mewujudkan prajurit yang profesional sangat membanggakan,” ujarLetjend Moeldoko yang baru pertama kali melakukan perjalanan dinas pascadilantik sebagai Kasad TNI.

Kasad juga berpesan kepada prajurit di lokasi latihan untuk menjalin kerukunan dan keharmosian dengan masyarakat khususnya dalam upaya menjunjung adat budaya setempat, tidak sembarangan menebang pohon, mengotori sungai dan membuang sampah tapi juga ikut melestarikan lingkungan alam.

Ketika ditanya fasilitas sarana latihan di lokasi Simtra ini, Kasad menjelaskan pihaknya akan membuat perencanaan terlebih dahulu, membicarakan dengan petinggi TNI dan pemerintah. “Saya perkirakan empat atau lima tahun sudah ada,” ujar Letjend Moeldoko.

Bupati Simalungun memberitahukan pemkab telah menyiapkan keadministrasian penggunaan lahan hutan itu untuk sarana latihan TNI secara legal opini dan legal hukum. “Semua telah kita sampaikan ke pemerintah pusat dan disetujui Menteri Kehutanan. Tinggal menunggu rencana induk kegiatan latihan dari Kodam I Bukit Barisan,” sebut Bupati.

JR Saragih menandaskan Simtra ini merupakan kepentingan negara dan bangsa bukan untuk Bupati atau Pemerintah Kabupaten Simalungun. Selain itu perekonomian rakyat juga mulai meningkat ditandai dengan bukanya sejumlah kedai di pemukiman penduduk.

“Harapan kami kepada Pak Kasad, untuk pembangunan Kabupaten Simalungun yang lebih baik dan meningkat lagi, kami sangat mendambakan program TMMD (TNI Manunggal Membangun Desa) tahun 2014 dilaksanakan di daerah kami,” ujar Bupati.

Kasad TNI dan rombongan didampingi Pangdam I BB Mayjend TNI paulus F Lodewijk, Danrem 022 PT Kolonel Inf Restu Widiyantoro MDA, Dan Rindam I BB Kolonel Inf teguh Arif Indratmoko, Dandim 0207 Simalungun Letkol Inf martin SM Turnip dan jajaran TNI, datang untuk meresmikan Simtra dan meninjau karya bakti TNI di Simalungun.

(Antara)

View the Original article

OSI Maritime Systems Signs Contract to Deliver Integrated Navigation Systems to DSME for Indonesian Navy Type 209 SSK Program

on

31 Mei 2013


OSI Maritime Systems ECPINS-W (photo : OSI)

OSI Maritime Systems (OSI) is pleased to announce the signing of a contract with Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering (DSME), South Korea.

As part of the program, DSME will build three Type 209 diesel submarines (SSK) for the Indonesian Navy.  Under the terms of the agreement, OSI will deliver three Integrating Navigation and Tactical Systems, including ECPINS-W Sub software.

ECPINS-W Sub is the most advanced navigation software in the world specifically designed for the unique requirements of subsurface navigation.

(Maritime Executive)

View the Original article

Test Flight Dua Pesawat Tempur Sukhoi Berjalan Sukses

on Tuesday, May 28, 2013

27 Mei 2013


Dua Su-30MK2 dengan nomor TS-3008 dan TS-3009 telah menjalani test flight dengan sukses (photo : Okezone)

Test Flight dua Pesawat Tempur Sukhoi SU-30 MK2 yang dilaksanakan selama satu hari , Senin (27/5) dengan Pilot Alexander dan Sergey, yang sebelumnya menjalani perakitan di Skadron Teknik 044 oleh Tim Teknisi dari Rusia yang dibantu Teknisi dari Skadron Teknik 044 berjalan lancar dan sukses.

Pelaksanaan test flight dua Pesawat Tempur Sukhoi pesawat tempur SU-30 MK2 buatan KNAAPO (Komsomolsk-na Amure Aircraft Production Association) Rusia, pesanan pemerintah Indonesia buatan Rusia yang tiba di Lanud Sultan Hasanuddin beberapa hari yang lalu, diawali dengan pelaksanaan briefing penerbangan yang dihadiri Kadisops Kolonel Pnb Widyargo Ikoputra.S.E mewakili Komandan Lanud Sultan Hasanuddin Marsma TNI Barhim, Pilot Test Flight dari Rusia, Pejabat Skadron Udara 11 serta Petugas PLLU dan Meteo Lanud Sultan Hasanuddin.

Test Flight pesawat tempur canggih yang kurang lebih dua jam dimulai pada pukul 09.00 Wita dilaksanakan di atas udara Lanud Sultan Hasanuddin dan sekitarnya dengan melaksanakan berbagai manuver diudara tersebut disaksikan langsung oleh Para Kepala Dinas serta Pejabat Staf Lanud Sultan Hasanuddin berjalan lancar dan sukses.

(TNI AU)

View the Original article

Vietnam Tertarik dengan Pesawat CN 295

on

27 Mei 2013

Pesawat CN-295 (photo : Burmarrad)

Jakarta, (Antara Sumbar) - Menteri Pertahanan Vietnam, Jenderal Phung Quang Thanh, mengatakan bahwa Vietnam memerlukan pesawat sejenis CN 295 sesuai kebutuhannya setelah mempelajari seluk-beluk pesawat jenis itu yang diprodduksi PT Dirgantara Indonesia (DI).

Siaran pers KBRI Hanoi yang diterima Antara di Jakarta, Senin, menyebutkan Menhan Vietnam juga mengatakan pihaknya berencana mengirim delegasi Angkatan Udara Vietnam ke Indonesia untuk mempelajari industri penerbangan Indonesia dan menanyakan hal-hal yang lebih rinci mengenai pesawat CN 295 ketika Wamenhan RI Sjafrie Sjamsoeddin melakukan kunjungan kehormatan kepada Menhan Jenderal Thanh.

Menhan Jenderal Thanh pada kesempatan itu juga mengatakan dia menghargai hubungan baik kedua negara, khususnya antara kedua militernya.

Wamenhan RI yang didampingi Dirut PT Dirgantara Indonesia (DI) Budi Santoso dan sejumlah pejabat Kementerian Pertahanan dan badan usaha milik negara itu melakukan kunjungan tiga hari ke Vietnam dalam rangka Road Show ke enam negara ASEAN untuk memperkenalkan pesawat CN 295.

Sjafrie beserta rombongan mendarat dengan menggunakan pesawat jenis itu di Ho Chi Minh City dari Bandar Seri Begawan pada 25 Mei dan meneruskan perjalanan ke Hanoi pada 26 Mei.

PT DI mengadakan Air Show pesawat CN 295 dan "Joy Flight" selama lebih kurang 45 menit pada Senin (27/5). Turut dalam program Joy Flight tersebut adalah wakil Panglima AU Vietnam beserta jajarannya, Dubes RI untuk Vietnam Mayerfas, Dubes Spanyol Fernando Curcio Ruigomez, Atase Pertahanan RI Kolonel Susilo Adi Purwantoro dan direksi PT DI.

Pada pertemuan terpisah, Wakil Panglima AU Vietnam Mayor Jenderal Nguyen Kim Khach mengatakan bahwa Vietnam telah menjajaki untuk memiliki pesawat sejenis CN 295. Dia mengatakan dirinya telah mencoba pesawat tersebut di Spanyol.

Dengan dirakitnya pesawat CN 295 di Indonesia, akan lebih baik bagi Vietnam mengingat pelayanan purna jual dapat dilakukan oleh Indonesia, yang berjarak lebih dekat dengan Vietnam, katanya.

Wamenhan RI menyambut baik rencana kunjungan delegasi Vietnam ke Indonesia guna melihat dari dekat produdksi pesawat PT DI dan industri pertahanan Indonesia lain. 

(Antara)

View the Original article

Kementrian Pertahanan Akui Pembelian 6 Oerlikon Skyshield

on

28 Mei 2013


Keenam meriam pertahanan udara Oerlikon Skyshield pesanan Indonesia akan dikirimkan 2015-2017 (photo : Oerlikon Contraves)

Perkuat Dirgantara, Indonesia Beli Perisai Udara

TEMPO.CO, Jakarta -- Kementerian Pertahanan tak hanya membeli pesawat tempur untuk memperkuat pertahanan dirgantara Indonesia. Kementerian mengaku telah memesan perisai udara dari pabrik Rheinmetall Air Defence di Swiss. Alat utama sistem persenjataan bernama Oerlikon Skyshield itu berbentuk meriam yang terintegrasi dengan radar pangkalan udara.

"Kita pesan enam unit Oerlikon SkyShield, saat ini dalam proses produksi," kata Kepala Badan Sarana Pertahanan, Laksamana Muda Rachmad Lubis, saat dihubungi Tempo, Selasa, 28 Mei 2013.

Enam unit meriam perisai udara itu dipesan Kementerian Pertahanan dengan harga US$ 202 juta. Namun, TNI AU mesti menunggu cukup lama sebelum menggunakan alutsista baru ini. Pasalnya, Oerlikon Skyshield baru bisa dikirim dari Swiss pada 2015. "Jadi bertahap. Pertama, empat unit tiba tahun 2015, dua unit lagi tiba tahun 2017," kata dia.

Sumber Tempo menyebutkan, Oerlikon Skyshield menggunakan meriam kembar berukuran amunisi 35 milimeter dan rudal anti-serangan udara jarak pendek. Kemampuan meriam memuntahkan 1.000 peluru dalam satu menit dianggap efektif menghancurkan ancaman pesawat tempur dan rudal musuh.

Kemampuan Oerlikon Skyshield semakin mumpuni jika menggunakan amunisi khusus buatan Rheinmetall bernama Advanced Hit Efficiency and Destruction (AHEAD). Jika ditembakkan, peluru ini mampu menyebar membentuk perisai, sehingga presisi tepat sasaran mencapai lebih dari 90 persen.

(Tempo)

View the Original article

EADS Sweetens KF-X Offering

on Monday, May 27, 2013

27 Mei 2013

KFX 4.5 gen fighter (image : naver)

LEIDEN, Netherlands (UPI) -- With South Korea edging closer to deciding on a contractor for its $7.3 billion KF-X fighter program, a European competitor is dangling a new carrot to its bid.

EADS, based in the Netherlands and part of the consortium that builds the Eurofighter Typhoon, says if the aircraft is chosen to replace South Korea's antiquated F-4 and F-5 fleets, it will invest $2 billion "and its technology in the KF-X to help Korea to become a fighter jet producer."

The announcement follows that of Eurofighter, which promised to assemble 53 of 60 aircraft to be produced in South Korea. It's estimated the local assembly would lead to creation of 50,000 jobs.

EADS has also said it would build a maintenance repair and overhaul facility for the aircraft in South Korea and an aerospace software center.

"If Korea chooses Eurofighter as its next generation fighter jet and EADS invests more than 2 trillion KRW [$2 billion] in the KF-X program, it will bring bigger economic effect than the SURION and Korea will be the fifth country [that] produces Eurofighter, high-level fighter jets," EADS said.

"It will also create strong political and military ties with Europe."

SURION is a Korean utility helicopter developed by Korea Aerospace Industries with technology obtained from Eurocopter, an EADS subsidiary headquartered in France.

"The SURION raised Korea to the 11th helicopter manufacturer in the world," EADS said, and created 25,000 jobs.

In its news release, EADS emphasized its business ties to the country. KAI, it noted, has supplied parts for Airbus aircraft since 1998.

Airbus, located in France, is another EADS subsidiary.

Other competitors for the KF-X contract are U.S. companies Lockheed Martin and Boeing. Lockheed is offering its F-35 Lightning II fighter while Boeing is offering its F-15 Silent Eagle.

A news report from Seoul says the country's Defense Acquisition Program Administration expects to make a final decision on a contractor next June.

"The price negotiations have been completed and we don't plan to have another round of negotiations," DAPA spokesman Baek Yoon-hyeong told a news briefing. "We plan to conduct the auction within June."

Meanwhile, the U.S. Defense Security Cooperation Agency reports the South Korean government has requested possible procurement of weapons in support of a "potential Direct Commercial Sale" of F-15 SE aircraft.

The package, if approved by Congress and if it goes through, would include associated equipment, parts, training and logistical support.

The deal would be worth $823 million.

Among items requested: Advanced Medium Range Air-to-Air Missiles, Joint Directed Attack Munition Tail Kits, small diameter bombs, general purpose bombs, AIM-9X-2 (Blk II) tactical missiles, containers, missile support and test equipment, provisioning, spare and repair parts.

"The proposed sale will provide the ROK with aircraft weapons for the F-15SE," the agency said. "These aircraft and weapons will provide the ROK with a credible defense capability to deter aggression in the region and ensure interoperability with U.S. forces."

(UPI)

View the Original article

Empat Pesawat Latih Grob Siap Dikirim ke Indonesia

on Saturday, May 25, 2013

24 Mei 2013


Pesawat latih Grob G-120TP dengan nomor registrasi LD-1204 yang menandakannya sebagai pesawat G-120 TP nomor empat (photo : Angkasa)
  
Empat unit pesawat latih Grob G 120TP buatan pabrik Grob, Jerman telah siap dikirim ke Indonesia. Keempat pesawat yang telah diberi warna dan registrasi TNI AU tersebut, diluncurkan (Rolled Out) di pabrik pesawat Grob di Tussenhausen,Mattsies, Jerman, Rabu (22/5/2013), pukul 10.00 waktu setempat.

Upacara Roll Out pesawat Grob G 120TP dilaksanakan oleh CEO Grob, André Hiebeler dan disaksikan oleh rombongan delegasi Indonesia dipimpin Kabaranahan Kementerian Pertahanan RI Laksda TNI Rachmad Ir. Rachmad Lubis. Duta Besar RI untuk Republik Federasi Jerman Dr. Eddy Pratomo dan Atase Pertahanan RI Kolonel Pnb Syamsul Rizal turut menghadiri seremonial ini. Sementara dari pihak TNI AU sebagai pengguna pesawat ini diwakili oleh Asops KSAU Marsda TNI Bagus Puruhito, Aslog KSAU Marsda TNI Ida Bagus Anom Manuaba, Dankodikau Marsda TNI M. Nurullah, serta Komandan Lanud Adisutjipto Marsma TNI Agus Munandar.


Keempat pesawat Latih Dasar (LD) dengan registrasi LD-1201, LD-1202, LD-1203, dan LD-04 tersebut selanjutnya akan dikirim ke Indonesia menggunakan kapal laut dan akan tiba di Indoensia sekitar pertengahan atau akhir Juli 2013. Pesawat Grob G 120TP dibeli Pemerintah Indonesia untuk digunakan TNI AU sebagai pengganti pesawat Latih Mula (LM) AS-202 Bravo dan pesawat Latih Dasar (LD) T-34C yang telah digunakan selama lebih 30 tahun. Indonesia membeli 18 unit pesawat ini sekaligus menjadikannya sebagai launch customer. Ke-18 pesawat dijadwalkan pengirimannya akan selesai tahun depan.

Angkasa yang turut dalam rombongan sempat diberi kesempatan untuk terbang sekitar 15 menit dan mencicipi beberapa manuver menggunakan pesawat serupa milik Grob bersama Chief Test Pilot Ulrich Schell. 

(Angkasa)

View the Original article

CN295 on ASEAN Tour to Show its Capabilities and Efficiency

on

24 Mei 2013


CN295 will make visits to  Philippines, Brunei Darussalam, Vietnam, Thailand, Myanmar and Malaysia  (photo : Guillermo Granger)

Airbus Military and PTDI promoting transport aircraft in the ASEAN region.

A CN295 military transport aircraft of the Indonesian Ministry of Defense will be making a tour around six ASEAN countries to promote the capabilities and efficiency of the transport aircraft that PT Dirgantara Indonesia (PTDI) and Airbus Military are producing jointly. The aircraft will make visits to Philippines, Brunei Darussalam, Vietnam, Thailand, Myanmar and Malaysia between 22nd and 31st of May.

The C295, denominated CN295 in the Indonesian Ministry of Defense, is a medium-sized multirole airlifter for both civic and military use. The tour, organized by the Indonesian Ministry of Defense, PTDI and Airbus Military, and led by Vice Minister Sjafrie Sjamsuddien, will showcase the benefits of the aircraft which is optimally suited for the wide range of humanitarian and defence tasks that ASEAN Governments need to cover. These missions include military transport, emergency response and medical evacuation, search and rescue, maritime patrol, or even more complex missions such as anti-submarine warfare or electronic surveillance missions.

The visits will also allow explanations on the specific capabilities of the CN235 and the NC212i, an upgraded version of the C212 launched in November 2012 between PTDI and Airbus Military with new avionics and autopilot systems as well as an increased passenger seating, increasing its cost efficiency significantly.

The Indonesia Air Force currently has  two CN295s in operation out of the nine units ordered from PTDI. By 2015, all of the nine units will be in service in Indonesia, with deliveries to the Indonesian Ministry of Defense taking place from the delivery centre and a final assembly line that Airbus Military and PTDI are setting up in Bandung, Indonesia, as a direct result of PTDI’s and Airbus Military’s Strategic Partnership signed in 2011.

In total, over 120 C295s have been ordered world-wide from Airbus Military and currently almost 100 are in operation with countries such as Algeria, Brazil, Chile, Colombia, Czech Republic, Egypt, Finland, Ghana, Jordan, Kazakhstan, Mexico, Poland, Portugal and Spain.

Meanwhile, the CN235 and NC212, with sales of over 270 and 470 respectively, are operating successfully in over 30 countries in the world. The operators of CN295, CN235 and NC212 are extremely satisfied with the reliability, capability, and robustness of the aircraft, which are extremely easy to operate even in hostile and difficult environments. As a result, the aircraft currently have the clear leadership in this segment.



View the Original article

Production of Tarantula 6x6 has been Completed

on Wednesday, May 22, 2013

21 Mei 2013


Tarantula 6x6 with 90mm gun (photo : Doosan)

Localization of heavy armored wheeled vehicle Doosan DST exports to Indonesia

A heavy armored wheeled vehicle (6X6) built with our own technology will be exported to Indonesia.

Doosan DST signed a heavy armored wheeled vehicle contract in 2009 with the Indonesian army and commenced production of these vehicles in November 2011. After carrying out operational tests along with firing and field maneuvering tests starting in early 2012, Doosan DST announced on 5 May that the production of its 6X6 heavy armored wheeled vehicle has been completed in early May 2013.

Prior to this announcement, DAPA officials, Indonesian inspectors, and affiliated companies held a roll-out ceremony on 2 May for the heavy armored wheeled vehicle (name for the Indonesian army:  Tarantula 6X6) that will be delivered to the Indonesian army.

The number of heavy armored wheeled vehicles that will be delivered to the Indonesian army. Doosan DST is responsible for manufacturing the armored vehicle and assembling the turret. Also, an Indonesian arms factory will assemble SKD-type armored vehicles on site in Indonesia.

The 6X6 heavy armored wheeled vehicles that will be delivered until the end of the year are 18 tons in weight and can hold 3 crew (driver, tank commander, gunner). Its top speed on ground is 100km per hour and can reach speeds up to 8km in the water.

The heavy armored wheeled vehicles that will be exported have been manufactured tailored to the Indonesian terrain and thus is lighter and can be operated in the water. Also, by arming these vehicles with a 90mm main gun and a 7.62mm machine gun, these vehicles possess the fire power capable of attacking dense enemy units as well as enemy tanks. At the same time, they are known as combat armored vehicles that can be operated for guerilla search and destroy operations.

Doosan DST also exported the K200A1 tracked armored vehicle to Malaysia for the first time in ROK history in 1993.

(Skorean MND)

View the Original article

Philippines Interested in the 'Principe de Asturias'

on

21 Mei 2013


In the bid for the Spanish carriers have also entered several Arab. The sale agreement includes that reform or adjustments shall be Spanish shipyards (photo :  Jack C. Bahm)

Indonesia has ruled out the purchase of the ship after the visit that turned several representatives of his government to the arsenal of Ferrol.

The aircraft carrier 'Principe de Asturias' has several suitors since the Spanish Armada gave low fleet in February. At the moment it is docked in the arsenal of Ferrol, which is handling the liquidation proceedings and at the same time, it continues with the tasks of withdrawal of their useful material. The plans that were originally planned for that has been the jewel in the crown of the Spanish Armada was being scrapped, but the Ministry of Defence has opened out to the possibility of its sale. This option has become stronger in recent weeks, as LA VOZ announced last April, to the interest shown by the purchase of the vessel by Asian and Arab countries. The Spanish Navy has confirmed that there are potential buyers, but so far has not materialized any sales transaction.

A delegation from the Indonesian Navy moved to late March to Ferrol to visit the ship and learn about their capabilities. However, the government has ruled out the purchase. The auction is now in the hands of Philippines. If definitely take the step to purchase, enter into the select club of countries with these characteristics boats among its fleet. Only nine governments have aircraft carriers. So, the closest to Indonesia is China and Thailand. The latter state has a nearly identical aircraft carrier 'Principe de Asturias'. Ferrol was built between 1994 and 1996 and gave the Thai government in 1997.

The Spanish Navy has indicated that no further visits planned similar to that made by Indonesians, although the door is open. For sale carried out one of these nations, in the marketing agreement could include a necessary modernization that could run in the shipyards of Navantia, which would provide a significant workload for the company. Just the cost of the reform and the high maintenance costs of the aircraft carrier was prompting Defense to declare their withdrawal. In February, the ship docked in Ferrol, after leaving their base in Rota, to remove from within all elements that can be reused. If no country finally acquires the carrier, will be auctioning an end, following a public call, to be scrapped as junk.

The Defence Ministry would take economic return with the sales transaction and, at the same time would be a dignified exit for this vessel, which has been the flagship of the Navy for over two decades. Defense announced on November 22 the ship retirement after 25 years of service, but clearly did not disclose what his final destination, although in some forums they talked about scrapping. This possibility, of course, does not convince the pointing control and less traumatic options.

The carrier left the Feb. 7 based in Rota to go to Arsenal of Ferrol, which holds its termination process Fleet units. The parting of the 'Prince of Asturias' took the honors during a naval parade that was attended by Don Felipe and Defence Minister Peter Morenés. In its cover held a ceremony and a display of military aircraft have integrated their tactical equipment, helicopters and planes Harrie '.

The floor of the carrier process will take between six and nine months. The Navy LA VOZ recently confirmed that the process of demilitarization of the ship began earlier this year at the base of Rota and is now in the Arsenal of Ferrol. The same sources stressed already dismantled a series of elements, mainly historical value goods, also the equipment for aircraft operations and transmission equipment as well as ammunition and combat systems. By prior, the Navy made an inventory of the material of the ship and, at present, we study the incorporation of some of its parts to other units of the Spanish fleet. This withdrawal process is similar to that carried out in 2009 with two Baleares class frigates (F-71), which were replaced by the new F-100. The Navy has scrapped a boat in the last decade and vessels have left the service are moored.

Ship Reconstruction

The Navy insists that, once the process is completed low, the aircraft carrier will be ready for disposal, ie for sale. Clear, however, that if during the process of disarmament is a country interested in your purchase, automatically stops the removal, so that the carrier does not lose all its military capabilities. At this point, it is the pursued, will sign an agreement with the country concerned compromising the work of adaptation and remodeling industry with some Spanish.

That is, the option includes the reconstruction of the boat to the new needs of the buyer country is made in Spain. So, Navantia, the builder of the ship, has very competitive studies for the possible adaptation of the boat to the needs of third countries.

(LavozDigital)

View the Original article

TNI AU Kunjungi Perbaikan C-130H di Australia

on Tuesday, May 21, 2013

18 Mei 2013


Dari empat C-130H untuk Indonesia pesawat pertama akan diserahkan akhir Juli 2013 dan pesawat terakhir akan diserahkan sebelum Oktober 2014. (photo : Ikahan)

Kunjungan Resmi Dankoharmatau untuk Mengamati Perkembangan Perbaikan C130H


AUSTRALIA – Selama periode 8 hingga 10 Mei 2013, Marsda TNI Sumarno selaku Komandan Pemeliharaan dan Materil Angkatan Udara (Dankoharmatau) melakukan kunjungan kerja ke Markas Angkatan Udara Australia di Richmond dan Markas Angkatan Udara Australia di Williamtown, New South Wales, Australia. Kunjungan tersebut dilakukan sebagai bagian dari pengembangan hubungan antar TNI-AU dan Royal Australian Air Force (RAAF) di bidang pemeliharaan dan keselamatan penerbangan.

Pada tanggal 8 Mei 2013, Marsda TNI Sumarno bertemu dengan staf teknik dan logistik yang telah mendukung program C130H untuk RAAF. Tujuan dari kunjungan ini adalah untuk memberikan paparan kepada Dankoharmatau tentang sistem pendukung untuk empat pesawat C130H yang akan dipindahkan dari pihak Australia ke pihak Indonesia. Paparan tersebut juga termasuk memberikan informasi tentang pelaksanaan perbaikan yang dilakukan pada pesawat sebelum diserahkan kepada Indonesia.

Setibanya di RAAFRichmond, Marsda TNI Sumarno disambut oleh Commander Air Lift Group, Marsma Gary Martin. Selama pertemuan mereka, Marsma Martin memberikan paparan singkat kepada Marsda TNI Sumarno tentang sejarah armada C130H dalam melaksanakan tugasnya untuk Australia dan berbicara secara mendalam tentang peran penting pesawat tersebut selama bermain dalam operasi di seluruh dunia dan juga dalam hubungan bilateral antara Australia dan Indonesia.

Marsda TNI Sumarno melakukan tur ke hangar di mana armada C130H sedang dalam proses diperbaharui oleh Qantas Defence Services (QDS) sebelum dialihkan kepada pihak TNI-AU. Beliau ditunjukkan pesawat pertama yang telah dipersiapkan untuk Indonesia yang telah diberikan tanda Angkatan Udara Republi kIndonesia.

Beliau terkesan dengan kondisi pesawat tersebut dan pesawat lainnya yang akan diperbaiki oleh QDS pada masa depan. Diharapkan bahwa pesawat pertama dapat siap dikirim ke Indonesia pada akhir Juli 2013 dan pesawat terakhir akan diserahkan sebelum Oktober 2014. Marsda TNI Sumarno mengatakan bahwa ia sangat tertarik untuk lebih mengembangkan dan memperkuat hubungan antara Koharmatau, Angkatan Udara Australia dan QDS untuk menjamin pengiriman semua empat pesawat akan siap sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dan telah sesuai dengan praktek terbaik dunia untuk kelayakan udara dan keselamatan penerbangan.

Pada 09-10 Mei, Dankoharmatau melakukan kunjungan lebih lanjut di RAAF Richmond dan RAAF Williamtown untuk mengamati proyek perbaikan hangar di sejumlah markas yang dapat digunakan sebagai contoh untuk proses perbaikan hangar yang sedang dilakukan di Lanud Husein Sastranegara, Bandung, yang di sponsori oleh Australia-Indonesia aviation safety joint working group. Kunjungan tersebut dilakukan pada sejumlah hangar pemeliharaan untuk pesawat C130, F/A-18 dan Hawk 100 termasuk fasilitas untuk mengecat pesawat.

Beliau juga turut mengunjungi fasilitas pemeliharaan pesawat Hawk 100 untuk membahas masalah kelayakan udara serta pekerjaan terpenting dalam pencegahan korosi pada pesawat.

Sebagai hasil dari kunjungan ini, Marsda TNI Sumarno menunjukkan keinginannya untuk Koharmatau menjadi lebih erat terlibat pada proses serah-terima C130H dariAustralia untuk Indonesia dan pada bidang aviation safety joint working group.

(Ikahan)

View the Original article

Lockheed Martin Ready to Commit to Help KFX Project

on

20 Mei 2013


Lockheed Martin offering a robust technology transfer program for Korea’s KF-X (image : daum)

Lockheed Martin’s F-35 Joint Strike Fighter (JSF) is seen as one of strongest candidates to win the FX (Fighter Experimental) III project thanks to its stealth function. However, some critics are expressing concerns about the foreign military sales (FMS) program.

They say that should the U.S. aerospace and defense giant win the 8.3-trillion-won ($7.5 billion) bid, Korea will not be able to take advantage of the most-expensive procurement deal in history.

That’s because unlike direct commercial sales (DCS), the government-to-government FMS in which Washington would broker a contract between Seoul and Lockheed Martin is likely to restrict the U.S. company from transferring technology, which Korea plans to use in the project aimed at replacing its aging fleet of F-4s and F-5s.

However, Randy Howard, Lockheed Martin’s director of the Korea F-35 campaign, says Lockheed Martin is open to technology transfer and willing to make strong and solid commitments to help Korea with the project on the back of its track record.

“Lockheed is offering a robust industrial participation, offset, and technology transfer program. The offer includes the opportunity for the Korean industry to participate as a best value global supplier in the F-35 program, manufacturing the center wing and horizontal and vertical tails of the plane,” the American told The Korea Times.

“We’re also offering a robust technology transfer program for Korea’s KF-X indigenous fighter program. This offer includes a large contingent of Lockheed Martin engineers to assist in the design and development of the aircraft as well as an extensive amount of technical data drawn from the company’s existing fighter aircraft programs.”

He cited the T-50 as the firm’s proven track record of delivering on its offset commitments, saying the training jet, manufactured by the Korea Aerospace Industries (KAI), is the product of a program that delivered technology transfer and an industrial partnership as part of the F-16 Korea Fighter Program (KFP).

Currently, along with the F-35, Boeing’s F-15 Silent Eagle (SE) and the European Aeronautic Defense and Space Company’s (EADS) Eurofighter Typhoon are competing to win the FX contract that will purchase a high-end fleet of 60 combat aircrafts and start deploying them from 2016. The Defense Acquisition Program Administration (DAPA) plans to come up with a winner by the end of June.

There is negative public sentiment about the F-35 due to the FMS, under which details of the plane’s sale must meet U.S. government regulations.

However, Howard said there is no difference between the FSM and DCS, given the export of the technology process is the same for both.

“It is the same offices, same people, same restrictions, same enablement, and the fact that it is FMS has no additional bearing on potential export or non-export of the technology to Korea. For both FMS and DCS, they both have to go to the same State Department and the same offices have to approve the transfer,” he said.

In addition, he stressed that Lockheed Martin has been very successful in getting approval and working with the U.S. government under the FMS program.

“It’s important to have a contractor who knows how to sit down and work with the U.S. government to describe the programs and get the approvals for the export of technology,” he said.

“Lockheed Martin has done this better all around the world. We set licensed co-production of F-16s here in Korea. We worked with the Japanese industry for the production of their aircraft, the F-2. We have licensed co-production for F-16s in Turkey. So all around the world we have successfully established indigenous production programs based on the F-16 and other products.”

Along with technology transfer, the cost of the high-end fleet of fighter jets is expected to play a key role.

But the Defense Security Cooperation Agency (DSCA) notified the U.S. Congress in March of a potential FMS of 60 F-35 conventional takeoff and landing (CTOL) aircraft and associated equipment, parts, training and logistical support for an estimated cost of $10.8 billion, which is way beyond DAPA’s expectations.

Howard is confident that the final cost of an F-35 program for Korea will go down, calling it a “cost ceiling.”

“The production cost of the F-35 has been reduced by 50 percent from the first year of production to the fifth year of production,” he said.

“We are in final negotiations with the U.S. government on the sixth and seventh production lots and further cost reductions will be realized. The final cost of an F-35 program will be based upon discussions that occur between the Korean and U.S. governments.”

Among the three candidates, the F-35 is the only fifth-generation multirole fighter and the director said it provides a quantum lead in capability over all fourth-generation ones.

“2G phones are functional. You can do two things ― make phone calls and get email. But it does not have any apps. It’s limited in how it functions in today’s world and for the future. It’s at the end of its production life. That is a very similar analogy to a fourth-generation airplane. It’s at the end of its production and has limited functionality, and its future is not very bright,” he said.

“And yet, smartphones change how you live your life. You can do so many more things with a smartphone: You can put new software on it because there are applications out there which you can plug and play very easily. Smartphones are multitasking and this is what the F-35 does. It multitasks.

“If I came to you and said I want you to buy 60 2G phones, and I will give you all the software that goes with it. Would this be a good deal for you? The real point I’m making is that, Korea already has the vast majority of the software, capabilities, and technology to build fourth-generation aircraft.”



View the Original article

PT DI Siapkan Tiga CN235 untuk AL dan AU

on

21 Mei 2013

TNI AU berencana memiliki 3 pesawat CN-235MPA untuk dapat membentuk 1 skadron pesawat  intai baru (photo : Peter Ho)

Jurnas.com | PT Dirgantara Indonesia (DI)tahun ini kembali mendapatkan tiga proyek pesawat CN235 untuk TNI Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara.Ketiga pesawat itu ditargetkan bisa rampung dan dikirimkan pada tahun 2015 atau 2016.

“Satu pesawat untuk Angkatan Udara dan dua untuk Angkatan Laut untuk patroli maritim,”ujar Direktur Pengembangan Teknologi Engineering PT Dirgantara Indonesia (Persero) Andi Alisjahbana di Jakarta, Minggu (19/5).

Nilai kontrak ketiga pesawat disebutkan tidak sampai Rp 1 triliun. Pada tahun ini PT DI juga akan mengirimkan dua atau tiga pesawat jenis yang sama juga untuk TNI Angkatan Laut yang merupakan kontrak multi years pada tahun 2011. 

Target perusahaan kata dia setidaknya melakukan penjualan atau kontrak senilai Rp 3 triliun setiap tahunnya. Pada tahun 2012, perusahaan mendapatkan keuntungan sedikit lebih besar bila dibandingkan pada tahun sebelumnya. Diharapkan tahun ini perusahaan tersebut juga mengalami peningkatan pendapatan. 

Dia menambahkan bahwa PT DI juga berfokus untuk menyelesaikan proyek pesanan pembuatan pesawat yang masih backlog sekitar Rp 8 triliun sampai 2015 mendatang.Proyek tersebut tidak hanya dari konsumen dalam negeri tetapi juga dari luar negeri.

Selain berfokus untuk memproduksi pesawat dan helicopter, PT DI juga mengembangkan perawatan pesawat atau Maintenance Repair Overhaul (MRO) melalui Divisi Aircraft Services (ACS). ACS ditargetkan tidak hanya mampu memberikan MRO pesawat buatan PT DI tetapi juga produksi perusahaan lain. Pasar MRO Indonesia saat ini dikatakan sangat besar dan berpotensi untuk terus berkembang seiring dengan pertambahan jumlah pesawat.Namun, sayang lebih banyak maskapai yang memilih ke luar negeri untuk melakukan MRO.

“Airlines Rp 8 sampai 9 triliun tiap tahun. Dari jumlah itu diambil oleh dalam negeri yaitu GMF AeroAsia dan kami ada Rp 3 triliun.Jadi kita mesti berusaha menangkap pasar itu. Hanya kendalanya investasi, penambahan kemampuan karena mesti menguasai teknologi,”paparnya.

Belum semua aspek dalam MRO bisa dikuasai oleh pihaknya kata Andi.Misalnya landing gear yang harus dikirim ke luar negeri. “Kita lagi belajar mendapatkan kualifikasi.Kalau belum mendapatkan kualifikasi, training ya belum bisa,”imbuhnya.

(JurNas)

View the Original article

Indonesia-Turki Kerja Sama Bikin Tank

on Friday, May 17, 2013

15 Mei 2013


Dalam kejasama pembuatan tank dengan Turki, ukuran tank bisa "light" atau "medium". (photo : Army Technology) 

Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia dan Turki telah menandatangani nota kesepahaman mengenai pembuatan alat utama sistem senjata (alutsista) berupa tank ringan atau tank medium.

Penandatangan kerja sama itu dilakukan di sela kegiatan Internasional Defense Industri Fair (IDEF) ke-11 di Istanbul, Turki, awal Mei lalu, kata Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan, Pos Hutabarat, yang mempin Delegasi Indonesia menghadiri kegiatan itu.

Kementerian Pertahanan, lanjut dia, juga menjalin kerja sama dalam pembuatan alat komunikasi.

Menurut dia, kerja sama pembuatan tank dan alat komunikasi itu melibatkan dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu PT Pindad dan PT LEN. 

Ia menambahkan, dalam hal ini mitra PT LEN dari Turki adalah ASELSAN, perusahaan yang sudah memiliki pengalaman memproduksi  peralatan pertahanan dan keamanan.

Asisten Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Bidang Kerjasama, Silmy Karim, menambahkan kerjasama itu merupakan bagian dari upaya mempercepat kemandirian produksi alutsista.

"Lebih dari itu pihak Turki siap untuk bekerjasama dari awal proses yaitu desain, sampai dengan akhir yaitu produksi. Bahkan tidak menutup kemungkinan pemasaran bersama," katanya.

Dalam pembuatan tank tersebut, kata Silmy, PT Pindad akan bekerja sama dengan pihak Turki yang diwakili oleh FNSS Defense System.

"Keduanya melakukan kerja sama untuk membuat tank. Waktu kerja sama diperkirakan tiga hingga lima tahun. Tahun ini diusahakan grand design tank selesai, sehingga tahun depan bisa dibuat prototipenya," katanya.

(Antara)

View the Original article

KFX Ditunda, Indonesia-Korsel Ingin Buat Selevel F-35

on

15 Mei 2013

Pesawat tempur KFX akan dibuat selevel F-35 (image : daum)


JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengatakan, proyek kerja sama pembuatan pesawat tempur dengan Korea Selatan tetap berjalan. Hanya, proyek kerja sama pembuatan pesawat Korean Fighter Experiment (KFX) memang ditunda.

"Tidak ada kata-kata batal atau gagal. Itu yang penting. Betul ditunda karena pemerintahannya (Korsel) lagi transisi," kata Purnomo di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (15/5/2013).

Pramono mengatakan, Pemerintah Korsel bahkan berpikir kerja sama dapat ditingkatkan dengan membuat pesawat yang lebih canggih. Pasalnya, kata dia, kedua negara berpikir kebutuhan jangka panjang hingga 15 tahun mendatang.

"Mereka bahkan berpikir untuk meningkatkan (selevel) pesawat F-35 (buatan Amerika Serikat). Kita sudah sampaikan ke pihak Korea, apa pun yang akan dikembangkan, kita ikut. Kita share 20 persen (modal)," kata Purnomo.

Pramono menambahkan, selain kerja sama dengan negara lain, pemerintah juga tengah menambah investasi di PT Dirgantara Indonesia.

Seperti diberitakan, Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin menyebut, pembatalan proyek KFX telah merugikan Indonesia sekitar Rp 1,6 triliun. Proyek itu ditandatangani pada 15 Juli 2012 di Seol, Korsel.

Anggaran itu disebut untuk kebutuhan penelitian dan pengembangan. Sudah ada sekitar 30 orang dari PT DI yang dikirim ke Korsel untuk ikut mendesain pesawat KFX. Dari kerja sama ini, Indonesia awalnya berharap dapat memiliki 50 unit KFX pada 2020.

(Kompas)




View the Original article

Hibah F-5 Korea Selatan Ditolak TNI AU

on

16 Mei 2013


Korea Selatan berniat menghibahkan satu skadron pesawat F-5 Tiger atas pembelian 16 pesawat latih T-50 Goldean Eagle (photo : daum)


Jakarta (ANTARA News) - Itikad Korea Selatan menghibahkan F-5 Tiger ditolak TNI AU. Kepala Staf TNI AU, Marsekal TNI IB Putu Dunia, menyatakan penolakan lantaran tidak sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan. Tidak disebutkan apakah Korea Selatan telah mendapat pengganti armada F-5-nya.

"Karena spesifikasi pesawat F-5 Korea Selatan berbeda dengan yang dimiliki Indonesia," kata Dunia, usai menghadiri penutupan Sidang Umum dan Kongres Dewan Olahraga Militer Internasional atau Conseil International du Sport Militaire (CISM) Ke-68, di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, pesawat F-5 --tipe F-5E Tiger II-- milik Indonesia sudah banyak dimodifikasi, baik persenjataan atau avioniknya. Sedangkan, pesawat yang ditawarkan Korea Selatan minim modifikasi. Untuk mengaktualkan kemampuannya, TNI AU meluncurkan program MACAN pada masa lalu, yang juga melibatkan penyedia avionika Belgia dan Sagem, Prancis.

"Perbedaan spesifikasi ini justru menjadi beban di biaya perawatannya. Kalau bisa kami diberi pesawat yang sama dengan yang kami punya," katanya. Dunia menyatakan telah melaporkan penolakan itu kepada Menteri Pertahanan, Purnomo Yusgiantoro.

Beberapa bulan lalu, Korea Selatan secara sepihak menunda peluncuran Program KFX/IFX --satu proyek ambisius lompatan besar sekaligus jalan pintas perancangan dan pembuatan pesawat tempur generasi 5+ antara negara itu dan Indonesia-- justru pada saat tahap penilaian awal telah selesai ditempuh.

Padahal tahap penilaian awal itu menyatakan Program KFX/IFX ini sangat layak diteruskan, baik dari sisi rancang bangun, teknologi, biaya, kemampuan lain, hingga kemauan politik kedua negara. Skema pembiayaan dari kedua negara juga telah disepakati, untuk proyek yang diingini semula digelindingkan mulai 2015.

Korea Selatan juga diketahui sejak awal sangat mengidamkan boleh membeli F-22 Raptor, mengingat temperatur keamanan regionalnya cukup tinggi belakangan ini terkait agresivitas dan sensitivitas tetangganya, Korea Utara. Akan tetapi, Amerika Serikat lebih berselera menjual Raptor itu kepada Jepang.

Sejalan dengan penolakan Amerika Serikat itu, Korea Selatan lalu meluncurkan Program KFX; belakangan mengajak Indonesia mengingat Indonesia mulai memalingkan wajahnya kepada Korea Selatan sebagai sumber persenjataan. KT-1B Wong Bee dari Korea Seatan dan perbaikan menyeluruh KRI Nanggala-402 di negara itu.

Belakangan, ada sinyal dari Amerika Serikat bahwa Korea Selatan mulai dilirik untuk boleh memiliki Raptor. Latihan perang rutinFoal Eagle 2013 bahkan melibatkan B-2 Spirit dan satu flotila gugus tempur kapal induk USS Nimitz (CVN-68) ke Korea Selatan. Ini terbilang pelibatan sangat besar dalam latihan Foal Eagle selama ini.

(Antara)


View the Original article

Two-Ship Programme Firms Up for Indonesian PKR Frigate

on

17 Mei 2013


Sigma PKR 10514 (photo : Navy Recognition)

Dutch shipbuilder Damen Schelde Naval Shipbuilding, working in partnership with Indonesia's PT PAL, has confirmed the programme and build strategy for the construction of the first two SIGMA 10514 Perusak Kawal Rudal (PKR) guided missile frigates for the Indonesian Navy (TNI-AL).

Damen Schelde and the Indonesian Ministry of Defence signed a contract for the engineering, construction, and delivery of a single PKR in June 2012, with the contract coming into force at the end of 2013. An option for a second ship has subsequently been exercised, with this contract coming into effect in the next few weeks, Damen Schelde confirmed at IMDEX Asia 2013 in Singapore.

Displacing 2,365 tons and with accommodation for 120 (100 crew plus 20 spare), the 105 m PKR will be the largest SIGMA variant built to date. While Damen Schelde is prime contractor for the programme, assembly and trials will be undertaken in conjunction with PT PAL in Surabaya under a transfer of technology arrangement.

Each PKR will be assembled using six major block modules.

(Jane's)

View the Original article

Dua Pesawat Tempur Sukhoi Menambah Kekuatan Lanud Sultan Hasanuddin

on

17 Mei 2013

Pesawat Su-30MK2 datang dengan diangkut pesawat An-124 (all photos : ARC)

Dua Pesawat Tempur SU-30 MK 2 sesuai rencana tiba hari kamis, (16/5) Pukul 17.57 Wita landing di Lanud Sultan Hasanuddin Makassar, sehingga 4 dari 6 Pesawat tempur Sukhoi pesanan pemerintah Indonesia buatan Rusia telah tiba, diangkut dengan menggunakan pesawat angkut Antonov An-124-100 Flight Number VDA 6212 dengan Pilot Maksimov V. beserta 17 Crew.

Pesawat angkut An-124-100 yang berangkat dari Bandara Dzemgi Rusia Rabu (15/5) Pukul 06.30 UTC take off dari bandara Ninoy Aq Manila menuju Makassar, dengan rute penerbangan Bandara Dzemgi Rusia- Bandara Ninoy Aq Manila- Lanud Sultan Hasanuddin. Makassar.


Kedatangan dua Pesawat tempur Sukhoi SU-30 MK 2 tersebut menjadikan 4 dari 6 pesawat tempur sukhoi pesanan pemerintah Indonesia tahun 2013 telah tiba, yang akan menambah kekuatan Skadron Udara 11 Wing 5 Lanud Sultan Hasanuddin sebagai home base pesawat tempur SU-27 SKM dan SU-30 MK 2 buatan KNAAPO (Komsomolsk-na Amure Aircraft Production Association) Rusia, yang saat ini sudah ada 12 Unit pesawat Tempur Sukhoi SU-27 SKM dan SU-30 MK 2 yang datang secara bertahap yaitu semenjak Tahun 2003 di Lanud Iswahyudi Madiun selanjutnya di Lanud Sultan Hasanuddin tahun 2009 dan 2010.

(TNI AU)

View the Original article

PT DI - PT RAI Tanda-tangani Kerjasama Pengembangan Pesawat Regioprop

on Monday, May 13, 2013

04 Mei 2013


Pesawat Regioprop akan berbasis pesawat N250 (photo : Alain M)

Dirgantara Indonesia Kembangkan Pesawat Regioprop


TEMPO.CO, Bandung – PT Dirgantara Indonesia (Persero) meneken kerjasama dengan PT Regio Aviasi Indonesia untuk mengembangkan pesawat terbang turbotrop modern berkapasitas 70-90 orang penumpang bernama Regioprop, di kantor PT Dirgantara Indonesia di Bandung, Jumat, 3 Mei 2013.

Direktur Utama PT Regio Aviasi Indonesia Agung Nugroho mengatakan, kerjasama tersebut bertujuan untuk mengembalikan kejayaan PT DI sebagai pembuat pesawat terbang dari ujung sampai ujung mulai dari desain hingga pemasaran. Selain itu untuk memberdayakan industri pesawat terbang asli produk Indonesia. “PT Regio Aviasi Indonesia disini posisinya sebagai sponsor dan marketing sementara PT DI sebagai strategi partner dan main contractor,” katanya pada Tempo, Jumat, 3 Mei 2013.

PT Dirgantara Indonesia berfungsi sebagai strategi partner dan main contractor untuk menangani program sejak awal, perancangan, sertifikasi sampai dengan pembuatan pesawat serta serial dan melakukan pemasaran bersama. Sementara PT Regio Aviasi Indonesia sebagai sponsor, marketing dan pengembangan program.

Program pengembangan akan dilakukan terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah pleminary design dan feasibility study, yang akan berlangsung selama kurang lebih satu tahun untuk definisiawal pesawat dan menyerap keinginan atau persyaratan customer. Tahap kedua, full scale development atau pengembangan skala penuh, terdiri dari detail design, prototype manufacturing dan sertifikasi. Tahap tersebut berlangsung sekitar empat tahun terhitung mulai 2014-2017 untuk mendapatkan sertifikasi nasional Kementrian Perhubungan. “Semoga di tahun 2018 sertifikasi turun dan bisa berlanjut ke tahap tiga yaitu serial production, penjualan dan layanan purna jual,” katanya.

Program yang ditargetkan rampung dalam lima tahun itu akan memanfaatkan pengalaman rancang bangun anak bangsa dalam mengembangkan pesawat terbang sejak 1979 – 1982 (CN35) dan 1989 – 1996 (N250), yang disesuaikan dengan tantangan kebutuhan pesawat di masa depan, akan transportasi dengan efisiensi dan keekonomian yang lebih baik, kenyamanan penumpang dan keandalan yang lebih tinggi serta ramah lingkungan.

Selain itu, program tersebut juga dimanfaatkan untuk mengisi kebutuhan pasar di sektor pesawat regional (regional aircraft) pada kurun waktu 2018-2037 dan untuk mengambalikan kemampuan rancang bangun pesawat terbang di Indonesia. “Indonesia punya potensi untuk mengembangkan industri pesawat di Negara sendiri. Baiknya ya bangsa ini membuat pesawat untuk bangsanya sendiri untuk kebangkitan dirgantara nasional,” ujarnya.

Oleh karena itu, program tersebut juga merupakan satu wadah untuk meneruskan cita-cita yang telah dirintis oleh PT DI dalam mengembangkan pesawat terbang secara bertahap, baik dari segi kapasitas, daya jangkau dan kandungan teknologi. Seperti program-program PTDI seperti NC212, CN235, N250, dan N2130 yang telah dikembangkan sebelumnya.

(Tempo)

View the Original article

Pesawat Pengamat Persembahan Lapan

on Sunday, May 12, 2013

11 Mei 2013


Pada tahun 2013 enam orang engineer dikirim ke Jerman untuk mempelajari rancangan dan pembuatan pesawat Stemme S15, untuk selanjutnya dapat menghasilkan desain hasil modifikasi dengan tetap bekerjasama dengan Stemme dan TU Berlin (photo : Stemme)

Indonesia melalui Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) bersama Universitas Berlin di Jerman mengembangkan pesawat pengamat bernama Lapan Surveillance Aircraft (LSA). 

Konsep ini sebenarnya telah dibuat sejak 2011, tapi baru terealisasi pada 2012 dengan menggandeng Universitas Berlin sebagai mitra kerja sama. “Sampai saat ini ada enam orang ahli teknik kita yang berada di Jerman untuk terus melakukan riset, perancangan modifikasi, desain, pengujian, serta teknologi terhadap pesawat surveillance. Sedangkan untuk penerbangan resmi perdana LSA akan dilakukan akhir 2013 ini,” ungkap Kepala Pusat Teknologi Penerbangan Lapan Rika Andiarti, saat dihubungi KORAN SINDO. 

Program LSA ini memiliki beberapa misi di antaranya akurasi citra satelit, verifikasi dan validasi citra satelit, monitoring produksi pertanian, aerial photogrammetry, pemantauan, pemetaan banjir, deteksi kebakaran, search and rescue (SAR), pemantauan perbatasan dan kehutanan, serta pemetaan tata kota. 

Selain itu, LSA ini juga mampu mengakurasikan data dari foto citra satelit dengan resolusi tinggi yang telah digabung dengan satelitsatelit lain, mampu mengkroscek langsung di lapangan secara acak ketika terkadang satelit biasanya suka terhalang awan. 


Konseptual desain LSA akan berbasis pesawat Icon 5 yang mempunyai kemampuan amphibi (photo : Icon Aircraft)

LSA ini berbasis pesawat ICON 5 Amphibius dengan memiliki daya terbang 8—24 jam, mampu mencapai ketinggian maksimal 7,5 km dan kecepatan jelajah 220 km/jam serta jarak tempuh maksimal 1.300 km. 

Pesawat ini membutuhkan landasan dengan panjang minimal 300 m untuk take off dan landing. Pesawat ini memiliki total panjang mencapai 8,52 m dengan tinggi 2,45 m dengan lebar rentang lebar sayap sepanjang 18 m. Sedangkan resolusi gambar yang dihasilkan nanti mencapai hingga 50 cm dengan muatan hingga 70 kg. 

Sebagai pesawat utilitas dengan dua kapasitas tempat duduk, badan pesawat komposit dengan mesin tunggal ini dilengkapi motor glider dan operasi aturan instrumen penerbangan (IFR). LSA ini pesawat dengan mesin tunggal dan jenis mesin yang digunakan adalah Rotax 914 F2/15 dengan tenaga mesin (MTOP) 115 HP. Tangki bahan bakar LSA berkapasitas 130 liter dan jenis bahan bakar yang digunakan adalah Avgas 100LL/Mogas. 



Pesawat ini juga dilengkapi Propeler MTV-7-A/170- 051 serta 1,75 untuk diameter propeler dengan tiga bladed. Pesawat pengamat ini juga dilengkapi turbo charge dengan silinder pendingin udara dan kepala silinder pendingin air, karburator, kontrol pembuangan limbah otomatis, dan pengapian elektronik ganda. Daya tampung pesawat ini mencapai maksimal 20 kg serta 80 kg beban muatan dengan MTOW 1.300 kg. 

Di bawah sayap pesawat sepanjang 18 m itu terselip kamera metrik berkalibrasi dengan areal kamera mount, sebuah kamera yang secara nyata dapat memonitor melalui lintas udara dengan sensor optik yang dikembangkan dengan system wide angle dan menghasilkan gambar beresolusi tinggi. “LSA merupakan pesawat ringan dengan teknologi yang dikombinasikan dengan aero dynamic serta engine dan sayap yang tentunya dapat mengangkat pesawat dengan stabil dan kamera canggih beresolusi tinggi,” papar Staf Ahli Kementerian Negara Riset dan Teknologi Bidang Hankam Teguh Rahardjo, kepada KORAN SINDO. 

Teknologi canggih yang dipakai dalam pesawat LSA ini sebenarnya pengembangan dari pesawat Lapan Surveillance UAV (LSU), yang merupakan pesawat tanpa awak. Pesawat ini memiliki dua tipe yakni LSU 01 dan LSU 02. Pesawat yang terbuat dari sterofoam dan telah dipakai pada ketinggian 3.300 m saat letusan gunung merapi dan banjir beberapa waktu lalu ini berguna untuk verifikasi data satelit. “Menariknya, ini proses pembelajaran bagi Lapan untuk membangun pesawat dengan cara bertahap sehingga diharapkan kita akan mampu membuat pesawat sendiri tanpa bergantung negara lain,” ucap Teguh.

(Koran Sindo)

View the Original article